Simeulue, Surga Kecilku,Ya Namaku Elias Abdullah. Seorang transmigran dari Jawa Barat, mendarat di Simeulue bukan dengan bekal emas, tapi dengan tekad membara dan sepasang tangan yang siap bekerja keras. Dua juta rupiah sebulan dari pekerjaanku di perkebunan, mungkin tak seberapa jika dibandingkan dengan gemerlap kota, tapi di sini, di pulau kecil yang indah ini, terasa cukup. Lebih dari cukup, bahkan. Karena di sini, aku menemukan surga kecilku.
Istriku, Risya Dwi Apriansyah, adalah tulang punggungku selain pekerjaan di kebun. Senyumnya selalu menjadi penyemangatku saat lelah melanda. Dua bidadari kecil, Alsya Shahila Fikroh dan Alwi Said Alhayat, adalah alasan terbesar aku bertahan, alasan terbesar untuk meraih mimpi. Mata mereka yang polos, tawa mereka yang riang, adalah hadiah terindah yang tak ternilai harganya.
Kehidupan di Simeulue tak selalu semanis madu. Mungkin gajiku tergolong pas-pasan. Bayangan ketakutan tentang masa depan kerap hinggap di pikiranku. Bagaimana jika Alwi sakit? Bagaimana jika Alsya butuh biaya sekolah yang lebih tinggi? Bagaimana jika Risya butuh perawatan kesehatan? Pikiran-pikiran itu menusuk kalbu, membuatku terjaga di tengah malam.
Tapi, setiap kegelapan selalu diiringi secercah cahaya. Di sini, di pulau yang terkenal dengan keramahan penduduknya, aku merasa terlindungi. Tetangga-tetanggaku selalu siap membantu. Berbagi hasil kebun, saling tolong-menolong, itulah keseharian kami di sini. Rasa kekeluargaan yang kuat menjadi benteng pertahananku di saat kesulitan melanda.
Selain kerja keras di perkebunan, aku juga menyalurkan hobi menulis di blogku dan menjadi Youtuber. Aku berbagi cerita tentang kehidupan di Simeulue, keindahan alamnya, kearifan lokal penduduknya. Aku ingin menunjukkan kepada dunia, betapa indahnya pulau ini, betapa baiknya hati penduduknya. Dari situlah, aku mendapatkan penghasilan tambahan.
Pendapatan dari blog dan Youtube tak banyak, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan tambahan. Aku membelikan Alwi buku-buku cerita, dan Alsya mendapatkan alat tulis yang lebih baik. Aku bahkan mampu menyisihkan sedikit demi sedikit untuk menabung demi masa depan anak-anakku.
Ada banyak sekali cerita yang ingin kubagikan. Kisah tentang perjuangan melawan terik matahari di ladang, tentang air mata haru ketika Alsya berhasil membaca Al-Quran, tentang kebahagiaan sederhana saat Alwi tertawa riang karena mendapat hadiah kecil darinya, tentang canda tawa bersama keluarga saat menikmati hidangan sederhana di meja makan.
Pernah suatu hari, badai besar menerjang pulau kami. Rumahku hampir roboh. Angin kencang dan hujan deras membuat kami ketakutan. Tapi, di tengah kepanikan, aku melihat tetanggaku datang membantuku mengamankan rumah. Mereka membantu mengevakuasi keluargaku ke tempat yang lebih aman. Kesulitan itu membuat kami semakin dekat. Kekuatan kebersamaan menjadi penyemangat kami untuk bangkit kembali.
Matahari Simeulue memang terkenal ganas. Teriknya mampu membakar kulit hingga terasa perih. Tapi, matahari itu juga sumber kehidupan. Tanpa matahari, hasil panen di perkebunan kami tak akan melimpah. Maka, setiap pagi, sebelum ayam jantan berkicau, aku sudah bersiap pergi ke ladang.
Bajuku basah kuyup oleh keringat, tubuhku terasa lengket dan lelah. Tangan dan kakiku pegal karena seharian bekerja keras membajak tanah, menanam, dan merawat tanaman. Kadang, aku merasa ingin menyerah. Tubuhku terasa remuk, pikiran pun melayang kepada keluarga di rumah. Risya pasti sedang kelelahan mengurus anak-anak. Alsya dan Alwi pasti sedang menunggu kedatanganku.
Tapi, bayangan wajah anak-anakku, senyuman istriku, dan cita-cita untuk memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga, selalu membangkitkan semangatku. Aku mengusap keringat di dahi, mengambil nafas dalam-dalam, dan melanjutkan pekerjaanku. Aku tak boleh menyerah. Aku harus kuat. Aku harus menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab.
Suatu hari, saat matahari sedang berada di puncaknya, aku merasakan pusing yang hebat. Pandanganku mulai kabur. Tubuhku terasa lemas. Aku hampir jatuh tersungkur. Aku bersandar pada pohon mangga tua di tepi ladang, mencoba mengatur nafas.
Saat itu, aku merasa putus asa. Aku tak mampu lagi. Aku ingin pulang. Aku ingin memeluk istri dan anak-anakku. Air mataku berlinang. Bukan air mata karena lelah, tapi air mata karena rasa takut. Takut tak mampu memenuhi tanggung jawabku sebagai kepala keluarga.
Tiba-tiba, aku mendengar suara kecil memanggil namaku. Aku menoleh. Alsya, putriku yang masih kecil, berlari kecil ke arahku. Di tangannya, tergenggam segelas air kelapa muda. Wajahnya penuh kekhawatiran.
"Papa, minum ini," katanya dengan suara lembut.
Air mataku semakin deras. Bukan air mata kesedihan, tapi air mata haru. Kasih sayang anakku yang masih kecil mampu membangkitkan kembali semangatku. Aku menerima gelas itu, menenggak air kelapa hingga habis. Rasa manis dan segarnya mampu membangkitkan kembali tenagaku.
Alsya memelukku. Tubuhnya kecil, tapi pelukannya begitu hangat dan penuh cinta. Dia tak berbicara banyak, tapi kehadirannya di sana, di tengah terik matahari yang menyengat, memberikan kekuatan yang tak ternilai harganya.
Setelah itu, aku melanjutkan pekerjaanku. Rasa lelah masih ada, tapi aku merasa lebih kuat. Aku merasa bahwa aku bukan hanya bekerja untuk diriku sendiri, tapi juga untuk keluargaku. Aku harus terus berjuang, karena ada Alsya, Alwi, dan Risya yang selalu menunggu di rumah. Dan perjuangan itu, akan selalu diiringi oleh kasih sayang keluarga kecilku yang luar biasa. Air mata haru itu, menjadi pengingat akan kekuatan cinta yang tak pernah padam.
Simeulue, bukan hanya sebuah pulau. Simeulue adalah tempatku menemukan makna kehidupan yang sesungguhnya. Di sini, aku menemukan keluarga, teman, dan kebahagiaan yang tak terkira. Dua juta rupiah mungkin kecil, tapi rasa syukurku kepada Allah SWT tak terhingga. Karena di sini, di surga kecilku, aku, Elias Abdullah, merasa kaya raya.
Komentar