Samudera Nikmat yang Terlupakan: Merenungi Panggilan Hati dalam Surah Ar-Rahman Ayat 13
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Di antara hamparan permadani ayat-ayat suci Al-Qur'an, terdapat sebuah surah yang dijuluki 'Arus Al-Qur'an, Sang Pengantin Al-Qur'an. Dialah Surah Ar-Rahman, surah ke-55 yang namanya diambil dari salah satu Asmaul Husna terindah, Ar-Rahman, Yang Maha Pengasih. Keindahan surah ini tidak hanya terletak pada pilihan katanya yang puitis dan ritmenya yang menghentak jiwa, tetapi juga pada pesan sentralnya yang menggugah kesadaran: pengakuan akan limpahan nikmat Allah SWT yang tiada terhingga.
Puncak dari penggugahan kesadaran itu terangkum dalam sebuah ayat yang diulang tidak kurang dari 31 kali, laksana detak jantung yang terus mengingatkan, laksana panggilan lembut namun tegas yang menembus tirai kelalaian. Ayat ke-13:
فَبِأَيِّ ءَالَآءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Fabiayyi aalaa'i Rabbikumaa tukadzdzibaan
"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"
Pertanyaan ini, yang ditujukan kepada dua makhluk-Nya yang memiliki beban taklif (tanggung jawab), yaitu manusia dan jin, bukanlah sekadar pertanyaan retoris. Ia adalah sebuah ajakan mendalam untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia, menundukkan kepala, dan merenungi samudera nikmat yang melingkupi setiap detik kehidupan kita. Ia adalah tantangan bagi akal dan nurani untuk jujur mengakui ataukah terus menerus mendustakan anugerah Sang Maha Pemberi.
Mari kita selami lebih dalam makna agung yang terkandung di balik pertanyaan menusuk kalbu ini, mencoba mengurai benang-benang hikmah yang tersembunyi di dalamnya, dengan harapan hati kita tergugah untuk menjadi hamba yang pandai bersyukur.
Membedah Struktur Pertanyaan Ilahi
Setiap kata dalam ayat ini mengandung kedalaman makna yang luar biasa:
فَ (Fa): Maka... Huruf fa di awal ayat ini berfungsi sebagai tafريع (menyatakan akibat atau kelanjutan). Ia menghubungkan ayat ini dengan pemaparan nikmat-nikmat Allah yang disebutkan sebelumnya (atau akan disebutkan sesudahnya dalam konteks pengulangan). Seolah-olah Allah berfirman, "Setelah Aku paparkan sekian banyak bukti kasih sayang dan kuasa-Ku, setelah Aku bentangkan aneka ragam ciptaan-Ku yang menakjubkan..."
بِأَيِّ (Bi ayyi): Dengan yang mana... / Yang manakah... Kata ayyi adalah kata tanya yang menuntut spesifikasi. Ia tidak sekadar bertanya "apakah", tetapi "yang mana". Ini menyiratkan bahwa nikmat Allah itu begitu banyak, beragam, dan spesifik, sehingga pendustaan terhadap salah satunya saja sudah merupakan sebuah kezaliman yang nyata. Pertanyaan ini menantang kita: "Sebutkan, nikmat mana yang kau anggap remeh? Nikmat mana yang kau rasa bukan berasal dari-Ku? Nikmat mana yang layak kau ingkari?"
ءَالَآءِ (Aalaa'): Nikmat-nikmat / Karunia-karunia / Anugerah-anugerah / Tanda-tanda Kekuasaan. Ini adalah bentuk jamak dari الا atau إِلى. Kata ini memiliki cakupan makna yang sangat luas. Aalaa' bukan hanya nikmat material seperti harta, makanan, atau kesehatan. Ia mencakup segala bentuk anugerah, baik yang tampak maupun tersembunyi, yang besar maupun kecil, yang bersifat duniawi maupun ukhrawi. Termasuk di dalamnya adalah nikmat penciptaan, nikmat kehidupan, nikmat panca indera, nikmat akal pikiran, nikmat diturunkannya Al-Qur'an sebagai petunjuk ('allamal Qur'an), nikmat kemampuan berbicara dan menjelaskan ('allamal bayaan), nikmat alam semesta yang tertata rapi (matahari, bulan, bintang, tumbuhan, lautan), nikmat pasangan hidup, nikmat keturunan, nikmat iman, nikmat Islam, nikmat hidayah, nikmat ampunan, hingga janji nikmat surga yang tak terperi. Bahkan, ujian dan musibah pun, dalam kacamata iman, bisa menjadi aalaa' jika disikapi dengan sabar dan menjadi jalan pengguguran dosa atau peningkatan derajat.
رَبِّكُمَا (Rabbikumaa): Tuhan Pemelihara kamu berdua. Kata Rabb mengandung makna Pencipta, Pemilik, Pengatur, Pemelihara, Pemberi rezeki, dan Pendidik. Penggunaan kata Rabb di sini mengingatkan bahwa sumber segala nikmat itu adalah Dia yang senantiasa memelihara dan mengatur urusan kita. Penyebutan kumaa (kamu berdua) secara eksplisit menunjuk kepada jin dan manusia, dua golongan makhluk yang diberi akal, kehendak bebas, dan tanggung jawab di hadapan Allah. Ini menegaskan universalitas pesan dan keluasan rahmat Allah yang mencakup kedua alam tersebut.
تُكَذِّبَانِ (Tukadzdzibaan): Kamu berdua dustakan / Kamu berdua ingkari. Kata ini berasal dari akar kadzaba (berdusta). Takdzib (pendustaan) di sini memiliki spektrum makna yang luas:
Pendustaan Lisan: Mengucapkan secara terang-terangan bahwa nikmat tersebut bukan dari Allah, atau bahkan mengingkari adanya nikmat tersebut.
Pendustaan Hati: Tidak mengakui dalam hati bahwa nikmat itu berasal dari Allah, merasa bahwa itu semata-mata hasil usaha sendiri, kebetulan, atau pemberian makhluk lain. Ini adalah bentuk kesombongan dan kelalaian.
Pendustaan Perbuatan (Kufur Nikmat): Menggunakan nikmat Allah untuk kemaksiatan atau hal-hal yang tidak diridhai-Nya. Mata yang sehat digunakan untuk melihat yang haram, lisan yang fasih dipakai untuk berghibah atau berdusta, harta yang lapang dipakai untuk foya-foya dan menindas, kekuasaan dipakai untuk kezaliman. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah nikmat.
Melupakan Nikmat: Menganggap nikmat sebagai hal yang biasa, lumrah, dan otomatis ada, sehingga lupa untuk mensyukurinya. Udara yang kita hirup, air yang kita minum, detak jantung yang teratur, seringkali luput dari radar kesyukuran kita.
Meremehkan Nikmat: Merasa nikmat yang diterima kurang, selalu melihat kepada nikmat orang lain, dan tidak pernah merasa cukup dengan apa yang Allah berikan.
Rahasia di Balik Pengulangan 31 Kali
Mengapa ayat ini diulang begitu sering dalam satu surah? Para ulama tafsir memberikan beberapa penjelasan hikmah di baliknya:
Penegasan dan Penguatan (Ta'kid): Pengulangan berfungsi untuk menegaskan betapa pentingnya pesan ini. Seperti seorang guru yang mengulang-ulang pelajaran penting agar meresap dalam benak muridnya, Allah mengulang pertanyaan ini untuk mengetuk kesadaran manusia dan jin berkali-kali.
Menyebut Nikmat Secara Spesifik: Setiap pengulangan ayat ini seringkali datang setelah penyebutan kelompok nikmat tertentu. Misalnya, setelah menyebut penciptaan langit dan bumi, datang pertanyaan ini. Setelah menyebut penciptaan manusia dari tanah liat dan jin dari api, datang pertanyaan ini. Setelah menyebut dua lautan yang bertemu, mutiara dan marjan, kapal-kapal yang berlayar, datang lagi pertanyaan ini. Seolah Allah ingin mengatakan, "Nikmat penciptaan langit ini, apakah kau dustakan? Nikmat lautan ini, apakah kau dustakan? Nikmat kapal yang berlayar ini, apakah kau dustakan?" Ini membuat pendustaan terasa semakin tidak beralasan.
Memberi Ritme dan Keindahan Sastra: Pengulangan ini menciptakan irama yang khas dan indah dalam Surah Ar-Rahman, membuatnya mudah dihafal dan menyentuh perasaan pendengarnya. Keindahan ini sendiri adalah salah satu aalaa' (nikmat) Allah.
Membangkitkan Rasa Malu: Dengan terus-menerus ditanya setelah diingatkan akan berbagai nikmat, diharapkan timbul rasa malu dalam diri manusia dan jin untuk terus menerus mengingkari atau melalaikan anugerah Tuhannya.
Menjangkau Setiap Aspek Kehidupan: Pengulangan ini seolah menyisir setiap aspek kehidupan, dari alam makrokosmos hingga mikrokosmos, dari nikmat fisik hingga spiritual, memastikan tidak ada celah bagi kita untuk berkelit dari pengakuan atas karunia-Nya.
Peringatan Berkelanjutan: Ia berfungsi sebagai alarm yang terus berbunyi, membangunkan jiwa dari tidur kelalaian, mengingatkan bahwa setiap tarikan nafas adalah nikmat, setiap detak jantung adalah anugerah.
Menjelajahi Samudera "Aalaa'" (Nikmat) Allah
Untuk benar-benar meresapi pertanyaan Fabiayyi aalaa'i Rabbikumaa tukadzdzibaan, kita perlu menyelami betapa luas dan dalamnya samudera nikmat Allah. Surah Ar-Rahman sendiri membentangkan sebagian kecil darinya:
Nikmat Penciptaan dan Ilmu: Allah mengajarkan Al-Qur'an ('allamal Qur'an), menciptakan manusia (khalaqal insaan), dan mengajarinya pandai berbicara/menjelaskan ('allamal bayaan). Ini adalah nikmat fondasi: petunjuk hidup, eksistensi diri, dan kemampuan berkomunikasi.
Nikmat Keteraturan Alam Semesta: Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan (Asy-syamsu wal qamaru bihusbaan), tumbuh-tumbuhan dan pepohonan tunduk kepada-Nya (Wan najmu wasy syajaru yasjudaan). Langit ditinggikan dan neraca keadilan ditegakkan (Was samaa'a rafa'ahaa wa wadha'al miizaan). Semua ini menunjukkan kuasa, kebijaksanaan, dan rahmat Allah dalam menciptakan kosmos yang harmonis sebagai tempat hidup kita.
Nikmat Sumber Daya Bumi: Bumi dihamparkan untuk makhluk-Nya (Wal ardha wadha'ahaa lil anaam), di dalamnya ada buah-buahan, pohon kurma yang berserat, biji-bijian berkulit, dan bunga-bunga harum (Fiihaa faakihatuw wan nakhlu dzaatul akmaam. Wal habbu dzul 'ashfi war raihaan). Ini adalah jaminan rezeki dan keindahan bagi penghuninya.
Nikmat Dualitas Ciptaan: Manusia dari tanah kering, jin dari nyala api (Khalaqal insaana min shalshaalin kal fakhkhaar. Wa khalaqal jaanna mim maarijim min naar). Ada dua timur dan dua barat (Rabbul masyriqaini wa Rabbul maghribain). Ada dua laut yang mengalir berdampingan namun tak bercampur (Marajal bahraini yaltaqiyaan. Bainahumaa barzakhul laa yabghiyaan), darinya keluar mutiara dan marjan (Yakhruju minhumal lu'lu'u wal marjaan). Kapal-kapal besar berlayar di laut (Walahul jawaaril munsya'aatu fil bahri kal a'laam). Semua ini menunjukkan kekayaan dan keajaiban ciptaan-Nya.
Nikmat Kefanaan dan Keabadian: Semua yang ada di bumi akan binasa, tapi Wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal (Kullu man 'alaihaa faan. Wa yabqaa wajhu Rabbika dzul jalaali wal ikraam). Ini adalah pengingat akan tujuan akhir dan kebesaran Allah yang abadi.
Nikmat Pertolongan dan Ketergantungan Makhluk: Semua yang di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya, dan setiap waktu Dia dalam kesibukan (mengatur makhluk-Nya) (Yas'aluhuu man fis samaawaati wal ardh. Kulla yaumin Huwa fii sya'n). Ini menunjukkan bahwa kita mutlak membutuhkan-Nya.
Nikmat Keadilan dan Balasan: Allah akan mengadili manusia dan jin (Sanafrughu lakum ayyuhats tsaqalaan). Ada balasan surga bagi yang takut kepada kedudukan Tuhannya (Wa liman khaafa maqaama Rabbihii jannataan) dengan segala kenikmatannya (taman-taman, mata air, buah-buahan, bidadari, permadani). Dan ada balasan neraka bagi para pendosa. Ini adalah manifestasi keadilan dan rahmat-Nya.
Ini baru sebagian kecil yang disebutkan eksplisit dalam Surah Ar-Rahman. Jika kita renungkan lebih jauh, nikmat Allah meliputi:
Nikmat Panca Indera: Mata untuk melihat keindahan ciptaan-Nya, telinga untuk mendengar ayat-ayat-Nya dan nasihat baik, lidah untuk berzikir dan merasa lezatnya makanan, hidung untuk mencium wewangian, kulit untuk merasa. Bisakah kita hitung nilainya jika salah satu saja dicabut?
Nikmat Kesehatan: Jantung yang berdetak tanpa henti, paru-paru yang memompa udara, darah yang mengalir, sistem imun yang menjaga. Seringkali kita baru sadar nilainya saat sakit.
Nikmat Akal dan Hati: Kemampuan berpikir, memahami, membedakan baik dan buruk. Hati yang bisa merasa cinta, kasih sayang, ketenangan, dan iman.
Nikmat Keluarga dan Masyarakat: Kasih sayang orang tua, kehangatan pasangan, tawa anak-anak, persahabatan, lingkungan sosial yang mendukung.
Nikmat Hidayah Iman dan Islam: Inilah nikmat terbesar yang sering dilupakan. Mengenal Allah, meyakini Rasul-Nya, mendapatkan petunjuk Al-Qur'an, dan berjalan di atas shiratal mustaqim. Tanpa ini, apalah arti semua nikmat duniawi?
Nikmat Ampunan dan Taubat: Pintu taubat yang selalu terbuka bagi hamba-Nya yang ingin kembali, rahmat-Nya yang mengalahkan murka-Nya.
Samudera nikmat ini terlalu luas untuk diarungi, terlalu dalam untuk diselami. Maka, Fabiayyi aalaa'i Rabbikumaa tukadzdzibaan? Nikmat manakah, wahai diri, yang berani kau dustakan?
Wujud Nyata Pendustaan Nikmat di Era Modern
Pertanyaan dalam Surah Ar-Rahman ini semakin relevan di zaman kita sekarang, di mana arus materialisme dan hedonisme seringkali menumpulkan kepekaan spiritual. Beberapa bentuk takdzib (pendustaan) nikmat yang mungkin tanpa sadar kita lakukan:
Sindrom "Merasa Berhak": Menganggap kesuksesan, harta, dan kenyamanan hidup sebagai hasil mutlak kerja keras dan kecerdasan diri sendiri, lupa bahwa semua itu adalah taufik dan anugerah Allah. Lupa bahwa Allah-lah yang memberi kekuatan, kesehatan, kesempatan, dan ide.
Kecanduan Membandingkan: Terjebak dalam rumput tetangga yang selalu lebih hijau melalui media sosial. Selalu merasa kurang, tidak puas dengan apa yang dimiliki, dan lupa mensyukuri nikmat yang ada di tangan. Ini adalah bentuk pendustaan terhadap kebijaksanaan pembagian rezeki Allah.
Penyalahgunaan Teknologi: Nikmat kemajuan teknologi (internet, gadget) yang seharusnya memudahkan ibadah dan menyebar kebaikan, justru sering disalahgunakan untuk menyebar fitnah, melihat hal haram, melalaikan waktu shalat, atau menjauhkan hubungan sosial yang nyata.
Kerusakan Lingkungan: Eksploitasi alam yang berlebihan tanpa memperhatikan keseimbangan ekosistem adalah bentuk pendustaan terhadap nikmat bumi yang diamanahkan Allah. Pencemaran udara, air, dan perusakan hutan adalah pengkhianatan terhadap aalaa' berupa alam semesta.
Mengabaikan Kesehatan: Pola hidup tidak sehat (makanan junk food, kurang tidur, malas berolahraga) padahal Allah telah memberi nikmat tubuh yang sempurna, adalah bentuk kufur nikmat kesehatan.
Lalai Beribadah: Diberi waktu luang dan kesehatan, namun enggan memakainya untuk mendekatkan diri kepada Allah (shalat, membaca Al-Qur'an, berzikir). Ini pendustaan terhadap nikmat waktu dan kesempatan.
Menormalisasi Kemaksiatan: Menganggap hal-hal yang jelas dilarang agama sebagai sesuatu yang biasa atau bahkan tren, adalah bentuk pendustaan terhadap nikmat petunjuk (Al-Qur'an dan Sunnah).
Menjawab Panggilan Hati: Jalan Menuju Syukur
Pertanyaan Fabiayyi aalaa'i Rabbikumaa tukadzdzibaan bukanlah untuk membuat kita putus asa, melainkan untuk membangkitkan kesadaran dan mengarahkan kita pada jalan syukur (syukr). Syukur adalah lawan kata dari kufur (termasuk kufur nikmat/pendustaan). Bagaimana kita menjawab panggilan ini dalam tindakan nyata?
Pengakuan Hati (I'tiraf bil Qalb): Menanamkan keyakinan mendalam bahwa segala nikmat, sekecil apapun, datangnya hanya dari Allah SWT. Merasa rendah hati dan mengakui ketergantungan total kepada-Nya.
Pujian Lisan (Tsana' bil Lisan): Membiasakan lisan untuk selalu mengucapkan Alhamdulillah (segala puji bagi Allah) dalam setiap keadaan, baik saat mendapat nikmat maupun saat tertimpa musibah (karena di balik musibah pun ada hikmah dan nikmat kesabaran). Menceritakan nikmat Allah (tahadduts bin ni'mah) bukan untuk pamer, tapi untuk menampakkan karunia-Nya dan memotivasi orang lain bersyukur.
Pembuktian dengan Perbuatan (Amal bil Jawarih): Menggunakan nikmat Allah sesuai dengan tujuan penciptaannya dan dalam kerangka ketaatan kepada-Nya. Menggunakan mata untuk membaca Al-Qur'an, telinga untuk mendengar kajian ilmu, harta untuk berinfak, ilmu untuk mengajar, tenaga untuk menolong sesama. Inilah puncak kesyukuran.
Tadabbur dan Tafakkur: Merenungi ayat-ayat Al-Qur'an (khususnya ayat tentang nikmat seperti dalam Surah Ar-Rahman) dan memikirkan keajaiban ciptaan Allah di alam semesta. Ini akan membuka mata hati akan kebesaran dan keluasan rahmat-Nya.
Mengingat Kematian dan Akhirat: Kesadaran bahwa semua nikmat dunia ini akan sirna dan kita akan dimintai pertanggungjawaban atasnya akan mendorong kita untuk lebih bijak menggunakannya dan lebih giat bersyukur. Janji nikmat surga yang abadi adalah motivasi tertinggi untuk bersyukur di dunia.
Melihat kepada yang di Bawah (dalam Urusan Dunia): Sebagaimana nasihat Rasulullah SAW, dalam urusan duniawi, lihatlah kepada orang yang kondisinya di bawah kita. Ini akan membuat kita lebih mudah mensyukuri apa yang kita miliki dan tidak mudah mengeluh.
Berdoa Memohon Pertolongan: Meminta kepada Allah agar dijadikan hamba yang pandai bersyukur, karena syukur pun sejatinya adalah taufik dan hidayah dari Allah. Doa yang diajarkan Rasulullah kepada Mu'adz bin Jabal: Allahumma a'inni 'ala dzikrika wa syukrika wa husni 'ibadatik (Ya Allah, tolonglah aku untuk mengingat-Mu, mensyukuri-Mu, dan memperbaiki ibadah kepada-Mu).
Penutup: Sebuah Refleksi Abadi
Fabiayyi aalaa'i Rabbikumaa tukadzdzibaan?
Pertanyaan ini akan terus bergema sepanjang zaman, di relung hati setiap manusia dan jin yang berakal. Ia adalah cermin yang memantulkan sejauh mana kejujuran kita dalam mengakui Sang Pemberi Nikmat. Ia adalah cambuk yang melecut jiwa agar terjaga dari kelalaian. Ia adalah undangan menuju gerbang kebahagiaan hakiki, yaitu kebahagiaan seorang hamba yang senantiasa basah lisannya, tunduk hatinya, dan patuh anggota badannya dalam bingkai syukur kepada Rabb semesta alam.
Setiap kali kita membaca atau mendengar ayat ini, biarlah ia menjadi momen muhasabah (introspeksi diri). Sudahkah nafas yang kita hirup hari ini kita syukuri? Sudahkah makanan yang kita santap kita akui sebagai anugerah-Nya? Sudahkah waktu luang kita gunakan dalam ketaatan? Sudahkah nikmat iman kita jaga dengan amal shalih?
Jangan biarkan lidah kita kelu, hati kita beku, dan perbuatan kita jauh dari ridha-Nya saat pertanyaan agung ini kembali diajukan. Mari kita jawab dengan segenap jiwa raga, dengan lisan, hati, dan perbuatan: "Laa bi syai'in min aalaa'ika Rabbanaa nukadzdzib, falakal hamdu." (Tidak ada satu pun nikmat-Mu, wahai Tuhan kami, yang kami dustakan, maka bagi-Mu lah segala puji).
Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur, yang mampu melihat samudera nikmat dalam setiap tetes kehidupan, dan yang lisannya tak pernah kering dari pujian kepada-Nya.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Komentar